Location Maps : https://goo.gl/maps/RyuN638G4PdAk1Pv9
ANALISIS
#CitayamFashionWeek dan Remaja Tanggung yang Sibuk Jadi 'Anak Kota'
Jakarta, CNN Indonesia -- #Citayam Fashion Week, fenomena baru yang terjadi di #Sudirman, tepatnya di #TamanStasiunMRT #DukuhAtas, tengah jadi sorotan. Remaja-remaja dari luar Jakarta dengan fashion style yang cukup eksentrik ini mengundang beragam komentar.
Beberapa menganggapnya biasa saja, bahkan cenderung tidak peduli. Beberapa melihatnya lucu dan menarik. Tapi banyak juga yang menyebutnya bikin kawasan 'elite' jadi terlihat kumuh, kotor, dan alay.
"Enggak suka saja, alay. Dulu, kan, yang lewat [Sudirman] keren-keren bajunya, penampilannya. Sekarang jadi males lihatnya. Kumuh, alay, jorok," kata Wulan (27), seorang pekerja kantoran di daerah Sudirman menyampaikan kekesalannya.
Tentu saja, pendapat Wulan yang menyebut Sudirman jadi kumuh setelah anak Citayam, #Bojonggede, hingga Cibinong berdatangan itu tidak bisa disalahkan. Namanya juga pendapat dan pandangan, memangnya apa yang harus disalahkan?
Sama halnya pendapat Wulan, anak-anak remaja tanggung yang bermain di kawasan Sudirman itu juga tidak bisa disalahkan. Mereka punya alasan, hasrat, hak, bahkan harapan sampai betah nongkrong berlama-lama di Sudirman dengan gaya yang cukup menarik perhatian.
Pencarian Jati Diri
Febri (16) mengaku putus sekolah. Saat ini dia tinggal bersama abangnya di daerah Karet. Saban hari Febri main di Sudirman dengan outfit yang menurutnya paling keren sejagad.
Soal pakaian, Febri ingin terlihat mencolok. Dia mengenakan pakaian serba hitam andalannya. Dalaman crop top menampilkan perutnya yang rata, dipadukan dengan cardigan hitam ketat dan celana kedodoran.
Rambut cokelat kehitamannya digerai serampangan. Dengan penuh percaya diri, Febri berjalan berkeliling di Sudirman. Sesekali dia terlihat main mata dengan cowok-cowok yang berkumpul, menggoda satu sama lain.
"Ya, namanya usaha, nyari jodoh iya, nyari cuan iya. Biar kelihatan keren aja kita mah," kata Febri sore itu saat berbincang dengan CNNIndonesia.com.
Febri adalah satu dari puluhan atau mungkin ratusan anak yang putus sekolah dan memilih mejeng di Sudirman. Febri seperti anak lainnya, ingin terlihat keren seperti artis-artis konten yang saban hari wara-wiri di Tiktok, Facebook hingga Instagram.
Anak-anak seusia Febri memang sedang ranum, penuh rasa ingin tahu dan penasaran. Pengamat sosial dari Universitas Indonesia Devie Rahmawati menyebutnya wajar. Tentu ini bisa terjadi lantaran mereka sedang mencari entitas diri dalam kehidupannya.
"Kebebasan, pencarian jati diri, pemberontakan, dan mereka juga adalah korban dari krisisnya institusi sosial seperti keluarga dan masyarakat," kata Devie saat dihubungi melalui telepon.
Tentunya, mereka akan mencari rujukan dan referensi agar bisa menemukan jati diri tersebut. Sayangnya, kata Devie, rujukan itu banyak bertebaran di ranah digital yang tanpa filter dan bisa diakses siapa saja.
Ruang digital yang bagai supermarket budaya itu menawarkan berbagai menu budaya, salah satunya metro atau kota. Secara tidak langsung, pola pikir anak-anak ini kemudian terpapar hingga berkiblat pada metro sentrik yang harus terlihat seperti 'anak kota'.
"Makanya, ketika di ruang nyata selepas pandemi mereka ingin memperlihatkan apa yang selama ini ada di benak mereka, sekaligus mengaktualisasikan diri, pindahlah mereka ke Sudirman," katanya.
Apakah Mereka Salah?
Tidak ada yang salah dengan ekspresi. Menurut Devie, adalah hak mereka untuk menampilkan apa yang mereka inginkan. Hak mereka juga untuk berkumpul di Sudirman, mengingat sekali lagi, itu adalah ruang publik.
Terlepas dari pencarian jati diri, kewaspadaan tetap harus dilakukan. Para remaja ini, menurut Devie, adalah gambaran masa depan Indonesia. Tak salah mereka bersenang-senang, adu outfit di kawasan Sudirman, tapi tetap harus sesuai dengan usia dan budaya yang berlaku di Indonesia.
Sebab, tak sedikit mereka juga mengadopsi gaya hidup bebas yang ditampilkan di media sosial. Mereka ingin terlihat lebih dewasa dari usia sebenarnya dan melakukan hal-hal yang seharusnya tidak dilakukan di usia tersebut.
"Maka sebaiknya ini jadi referensi untuk orang dewasa, institusi sosial mendampingi mereka. Kita harus pastikan apa yang mereka lakukan di lorong yang benar, bukan semua hal bisa diadopsi dari ranah digital," katanya.
Dan benar, tidak ada yang salah dengan cara anak Citayam berkumpul di Sudirman. Mereka ingin mengaktualisasi diri melalui outfit dan gaya yang bagi mereka keren dan luar biasa.
Tidak ada yang salah juga dengan cara pandang orang lain melihat mereka. Karena setiap orang tentu punya referensi, paradigma bahkan cara melihat sesuatu dengan berbeda.
Citayam Fashion Week di Sudirman adalah #fenomena baru, bisa jadi hal yang baik bisa jadi hal yang buruk. Itu semua tergantung pada bagaimana Anda melihat.
https://www.cnnindonesia.com/gaya-hidup/20220708204029-277-819279/citayam-fashion-week-dan-remaja-tanggung-yang-sibuk-jadi-anak-kota/
===
ANALISIS
#CitayamFashionWeek dan Remaja Tanggung yang Sibuk Jadi 'Anak Kota'
Jakarta, CNN Indonesia -- #Citayam Fashion Week, fenomena baru yang terjadi di #Sudirman, tepatnya di #TamanStasiunMRT #DukuhAtas, tengah jadi sorotan. Remaja-remaja dari luar Jakarta dengan fashion style yang cukup eksentrik ini mengundang beragam komentar.
Beberapa menganggapnya biasa saja, bahkan cenderung tidak peduli. Beberapa melihatnya lucu dan menarik. Tapi banyak juga yang menyebutnya bikin kawasan 'elite' jadi terlihat kumuh, kotor, dan alay.
"Enggak suka saja, alay. Dulu, kan, yang lewat [Sudirman] keren-keren bajunya, penampilannya. Sekarang jadi males lihatnya. Kumuh, alay, jorok," kata Wulan (27), seorang pekerja kantoran di daerah Sudirman menyampaikan kekesalannya.
Tentu saja, pendapat Wulan yang menyebut Sudirman jadi kumuh setelah anak Citayam, #Bojonggede, hingga Cibinong berdatangan itu tidak bisa disalahkan. Namanya juga pendapat dan pandangan, memangnya apa yang harus disalahkan?
Sama halnya pendapat Wulan, anak-anak remaja tanggung yang bermain di kawasan Sudirman itu juga tidak bisa disalahkan. Mereka punya alasan, hasrat, hak, bahkan harapan sampai betah nongkrong berlama-lama di Sudirman dengan gaya yang cukup menarik perhatian.
Pencarian Jati Diri
Febri (16) mengaku putus sekolah. Saat ini dia tinggal bersama abangnya di daerah Karet. Saban hari Febri main di Sudirman dengan outfit yang menurutnya paling keren sejagad.
Soal pakaian, Febri ingin terlihat mencolok. Dia mengenakan pakaian serba hitam andalannya. Dalaman crop top menampilkan perutnya yang rata, dipadukan dengan cardigan hitam ketat dan celana kedodoran.
Rambut cokelat kehitamannya digerai serampangan. Dengan penuh percaya diri, Febri berjalan berkeliling di Sudirman. Sesekali dia terlihat main mata dengan cowok-cowok yang berkumpul, menggoda satu sama lain.
"Ya, namanya usaha, nyari jodoh iya, nyari cuan iya. Biar kelihatan keren aja kita mah," kata Febri sore itu saat berbincang dengan CNNIndonesia.com.
Febri adalah satu dari puluhan atau mungkin ratusan anak yang putus sekolah dan memilih mejeng di Sudirman. Febri seperti anak lainnya, ingin terlihat keren seperti artis-artis konten yang saban hari wara-wiri di Tiktok, Facebook hingga Instagram.
Anak-anak seusia Febri memang sedang ranum, penuh rasa ingin tahu dan penasaran. Pengamat sosial dari Universitas Indonesia Devie Rahmawati menyebutnya wajar. Tentu ini bisa terjadi lantaran mereka sedang mencari entitas diri dalam kehidupannya.
"Kebebasan, pencarian jati diri, pemberontakan, dan mereka juga adalah korban dari krisisnya institusi sosial seperti keluarga dan masyarakat," kata Devie saat dihubungi melalui telepon.
Tentunya, mereka akan mencari rujukan dan referensi agar bisa menemukan jati diri tersebut. Sayangnya, kata Devie, rujukan itu banyak bertebaran di ranah digital yang tanpa filter dan bisa diakses siapa saja.
Ruang digital yang bagai supermarket budaya itu menawarkan berbagai menu budaya, salah satunya metro atau kota. Secara tidak langsung, pola pikir anak-anak ini kemudian terpapar hingga berkiblat pada metro sentrik yang harus terlihat seperti 'anak kota'.
"Makanya, ketika di ruang nyata selepas pandemi mereka ingin memperlihatkan apa yang selama ini ada di benak mereka, sekaligus mengaktualisasikan diri, pindahlah mereka ke Sudirman," katanya.
Apakah Mereka Salah?
Tidak ada yang salah dengan ekspresi. Menurut Devie, adalah hak mereka untuk menampilkan apa yang mereka inginkan. Hak mereka juga untuk berkumpul di Sudirman, mengingat sekali lagi, itu adalah ruang publik.
Terlepas dari pencarian jati diri, kewaspadaan tetap harus dilakukan. Para remaja ini, menurut Devie, adalah gambaran masa depan Indonesia. Tak salah mereka bersenang-senang, adu outfit di kawasan Sudirman, tapi tetap harus sesuai dengan usia dan budaya yang berlaku di Indonesia.
Sebab, tak sedikit mereka juga mengadopsi gaya hidup bebas yang ditampilkan di media sosial. Mereka ingin terlihat lebih dewasa dari usia sebenarnya dan melakukan hal-hal yang seharusnya tidak dilakukan di usia tersebut.
"Maka sebaiknya ini jadi referensi untuk orang dewasa, institusi sosial mendampingi mereka. Kita harus pastikan apa yang mereka lakukan di lorong yang benar, bukan semua hal bisa diadopsi dari ranah digital," katanya.
Dan benar, tidak ada yang salah dengan cara anak Citayam berkumpul di Sudirman. Mereka ingin mengaktualisasi diri melalui outfit dan gaya yang bagi mereka keren dan luar biasa.
Tidak ada yang salah juga dengan cara pandang orang lain melihat mereka. Karena setiap orang tentu punya referensi, paradigma bahkan cara melihat sesuatu dengan berbeda.
Citayam Fashion Week di Sudirman adalah #fenomena baru, bisa jadi hal yang baik bisa jadi hal yang buruk. Itu semua tergantung pada bagaimana Anda melihat.
https://www.cnnindonesia.com/gaya-hidup/20220708204029-277-819279/citayam-fashion-week-dan-remaja-tanggung-yang-sibuk-jadi-anak-kota/
===
- Category
- FASHION
Comments